Thursday, May 24, 2018

Akulturasi budaya hindu-budha-islam di indonesia

Keragaman suku bangsa yang tersebar di Nusantara merupakan kondisi objektif yang penting dan sangat berpengaruh dalam keseluruhan proses penyebaran dan pembentukan tradisi Islam di Indonesia. Perbedaan suku bangsa itu tidak hanya menyangkut perbedaan bahasa, adat istiadat, dan sistem sosio-kultural pada umumnya, tetapi juga perbedaan orientasi nilai yang menyangkut sistem keyakinan dan keragaman masyarakat.

Setiap suku bangsa, selain memiliki kepercayaan lokal masing-masing, juga memiliki sistem pengetahuan dan cara pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya. Masuknya unsur baru dalam kehidupan tentu saja mendapat reaksi yang berbeda-beda. Adanya hukum adat yang terbentuk dari tradisi sosial budaya masyarakat setempat merupakan bentuk paling jelas dari institusi lokal yang mengatur tatanan masyarakat. Berdasarkan pengelompokan yang diperkenalkan oleh pelopor studi hukum adat, Van Vollenhoven, terdapat Sembilan belas wilayah hukum adat yang mengisyaratkan agama Islam tersosialisasikan dalam masyarakat yang memiliki ciri adat tertentu. Interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang tinggi telah ada sebelum Islam menjadi perdebatan diberbagai daerah. Daerah yang keterkaitannya dengan adat begitu tinggi dan paling intens menerima proses islamisasi antara lain Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Terutama menyangkut persoalan untuk mempertemukan atau menyelaraskan agama dan adat dalam kehidupan sehari-hari.

Kepercayaan dan tradisi lokal dalam masyarakat yang masih terdapat sisa-sisa tradisi meghalithikum (adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar, seperti menhir adalah tugu yang melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pujaan. Dolmen adalah bentuknya seperti meja batu berkakikan tiang satu dan merupakan tempat sesaji). Pada dasarnya tertumpu pada keyakinan tentang adanya aturan tetap yang mengatasi segala yang terjadi dalam alam dunia. Tradisi kepercayaan dan sistem sosial budaya adalah produk masyarakat lokal dalam menciptakan keteraturan. Seperti tradisi lokal itu adalah melakukan upacara adat, menghadirkan tata cara menanam dan memanen, melakukan selamatan serta melakukan upacara peralihan hidup.

Contoh lain tradisi lokal:
 Di Tapanuli, kepercayaan lokal dikenal dengan nama parmalim atau agama si Raja Batak. Di Kepulauwan Mentawai disebut Sabulungan, di Dayak disebut Kaharingan, di Toraja disebut Aluk to dolo. Di Sulawesi Tengah di sebut Parandangan, di Sumbawa disebut Baramarapu, di Nias disebut Ono niha. Di Sika (Maumere) disebut Ratu bita bantara. Kepercayaan lokal tersebut memang berbeda di setiap daerah, hal itu menunjukkan keragaman budaya yang ada di Indonesia.

Kemudian tadi dijelaskan mengenai kebudayaan megalithikum yang belum disebutkan adalah ada juga arca-arca (ini mungkin melambangkan nenek moyang mereka dan menjadi pemujaan), kubur batu (peti mayat dari batu yang keempat sisinya berdindingkan papan-papan batu, alas dan bidang atasnya juga dari papan batu). Punden berundap-undap (yaitu bangunan pemujaan yang tersusun berttingkat-tingkat). Pada umumnya kebudayaan megalithikum ini terdapat di seluruh Indonesia seperti di Sumatera, Bali, Jawa, dan Sulawesi. Di samping itu masyarakat Jawa telah mengenal cerita wayang dan ini adalah merupakan asli budaya Jawa.

Indonesia sejak zaman neolithikum atau zaman batu muda di mana alat yang dibuat sudah diasah sehingga menjadi halus dan indah. Dikatakan bahwa sejak zaman Neolithikum bangsa Indonesia telah mengenal:

1.Cara pertanian padi

2.Mengenal alat pemotong padi

3.Teknik pembuatan batik

4.Peternakan

5.Teknik pembuatan periuk belanga

6.Membuat alat-alat dari logam

7.Pembuatan rumah panggung

8.Mendirikan monument (bangunan pemujaan)

9.Sudah mengenal organisasi pemerintahan secara teratur yang dikepalai Kepala Desa dan menurut Adat

10.Membuat/menggunakan mata uang.

Perpaduan Tradisi Lokal dengan Hindu-Budha
Telah diketahui bahwa sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah memilih